Kamis, 09 Agustus 2007

Dunia Pengap Orang Tersisih

Arswendo Atmowiloto bukanlah nama asing di dunia media dan sastra tanah air. Lelaki kelahiran Solo 26 November 1948 ini bernama asli Sarwendo. Arswendo merupakan salah satu penulis dan wartawan terbaik Indonesia.

Seniman eksentrik berambut gondrong ini memulai karier sebagai cerpenis. Dia menulis buku yang sangat populer Mengarang Itu Gampang. Bagi Arswendo, menulis dapat digunakan untuk membentuk rasa percaya diri.

Kepiawaiannya menulis dan menangani media semakin terbukti saat Arswendo menjadi redaktur majalah Hai. Lewat sentuhannya, majalah remaja ini menelurkan tokoh-tokoh idola kaum muda saat itu. Imung, Kiki, Senopati Pamungkas, dan Keluarga Cemara, bahkan tokoh Lupus yang ditulis Hilman Hariwijaya, tak mungkin jadi sedemikian hidup dan merakyat tanpa polesan tangan dingin Arswendo.

Kiprah Arswendo sebagai pengasuh dan pengelola media mencapai puncak pada tahun 1990-an saat memimpin redaksi Monitor, tabloid hiburan sangat laris. Menyundul angka penjualan hingga 700.000 eksemplar setiap terbit, rekor Monitor masih sulit disaingi media cetak lain hingga saat ini.

Karier Arswendo kemudian berbalik menikamnya saat Monitor didemo karena dianggap menghina agama Islam. Jajak pendapat mengenai orang yang paling dikagumi pembaca tabloid itu menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-11, jauh di bawah Presiden Soeharto yang menempati peringkat pertama atau Iwan Fals yang menempati posisi ke-4.

Hasil jajak pendapat itu dianggap menghina Nabi Muhammad, yang kemudian dikaitkan sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Demonstrasi menentang hasil jajak pendapat tersebut pun membawa hasil tidak mengenakkan. Monitor dibredel pada 23 Oktober 1990 dan Arswendo ditangkap tiga hari kemudian. Pada 23 Januari 1991 Arswendo Atmowiloto dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena melanggar Pasal 156a Hukum Kriminal Indonesia.

Pengalamannya selama di pejara dituangkan dalam buku Menghitung Hari (Pustaka Utama Grafiti, 1993) dan Khotbah di Penjara (Subentra Citra Pustaka, 1994).

Dunia orang-orang tersisih, begitu pandangannya mengenai kehidupan di dalam penjara. Selain sanak saudara dan orang-orang yang memang berhubungan dengan penjara, menurut dia, tidak ada lagi yang peduli terhadap penghuni penjara. Bila tidak terpaksa, "Saya sendiri sebetulnya juga tidak mau tahu tentang kehidupan di dalam penjara," ujarnya.

Kehidupan orang-orang yang tersisih, serta perlakuan yang tidak layak, misalnya jatah makan yang hanya dua kali sehari, membuat kehidupan dalam penjara seperti memiliki aturan tersendiri. Ada aturan-aturan khusus yang dikemukakan melalui istilah-istilah khusus yang sulit dipahami orang yang baru masuk ke dunia itu, dan harus dipatuhi. Bila tidak, narapidana wajah baru bisa babak belur dihajar penghuni lama atau napi senior.

Agar dapat bertahan dengan kehidupan yang keras itu diperlukan kebesaran dan kerendahan hati untuk saling menghargai. "Mereka tidak peduli siapa saya atau si itu siapa. Di sana dunia luar tidak ‘bunyi'. Jadi, tergantung kelakuan kita di dalam," tuturnya.

Perlakuan tidak baik tidak hanya datang dari sesama napi. Meski mengakui ada penghuni penjara yang memalak, tindakan itu justru lebih sering dilakukan sipir. Selain uang, yang diminta paksa juga barang. Pemalakan oleh sipir biasanya dilakukan terhadap narapidana yang ingin mendapat perlakuan istimewa. Mulai dari fleksibelitas jam besuk hingga sel penjara yang lebih layak, bisa menjadi komoditas atau modal utama pemalakan oleh sipir. Pungutan liar itu sering kali memantik perselisihan antara sipir dan narapidana, hingga meletupkan kerusuhan di dalam penjara.

Saat menghuni penjara, Arswendo merintis bisnis produksi sandal yang ia kelola bersama para narapidana dan semua keuntungan dibagi rata. Sandal produksi narapidana itu berprospek bagus dan berhasil merambah konter pasar swalayan di Jakarta.

Namun warisan Arswendo Atmowiloto yang paling dihargai para narapidana di Cipinang adalah perpustakaan. Karena hal semacam itu belum pernah ada di penjara itu. Penghapusan hak bagi setiap narapidana membuat hidup mereka di dalam penjara bertambah berat. Ide-ide dan kreativitas pengarang novel Canting, Opera Jakarta, Senopati Pamungkas, serta penulis skenario film G30S PKI ini agaknya sedikit banyak dapat mengembalikan hak narapidana yang selama ini terampas dan dirampas. (E4)

Penulis: Rosmi Julitasari

http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=39


0 komentar:

Posting Komentar