Kamis, 02 Agustus 2007

Di Balik Kerusuhan Lapas Cipinang Ibarat Negara dalam Jeruji

PENJARA di Indonesia laksana sebuah negara bagi para narapidana (napi) yang menghuninya. Jabatan presiden di dalam negara, setara dengan jabatan ‘lurah’ di penjara.

Juga ada faksi-faksi yang sebangun dengan partai politik. Ada pula mirip jabatan menteri. Kekuatan-kekuatan informal tersebut, di samping struktur formal, pengaruhnya sangat terasa dalam kebijakan organisasi penjara.

Kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (31/7), menjadi menarik karena salah satu korban tewas, Sukarmat (Cak Munte) adalah ‘lurah’ di Cipinang. Lahir di Surabaya 15 Desember 1965, Munte adalah sosok yang dihormati, menjadi ‘lurah’ bagi ke-28 vorman (pemuka blok) di Cipinang. Munte dihukum 12 tahun, sejak 25 April 2003 karena pembunuhan dan perampokan.

Korban tewas lainnya adalah Syamsul Hidayat (Slamet), kelahiran Purworejo, Jateng. Dia masuk lapas pada 9 November 2006 (dipindahkan dari Rutan Salemba karena di sana menjadi perusuh), setelah dihukum empat tahun karena kasus perampokan.

Informasi yang diperoleh pers, kejadian itu tergolong canggih bak adegan di film. Betapa tidak, teknik yang digunakan membutuhkan banyak orang sebagai barikade, sehingga sulit mengetahui eksekutornya.

Pukul 09.30 WIB, ratusan napi bergerak. Slamet yang berada di halaman kamarnya, langsung dikelilingi lebih dari 150 orang. Di tengah, ada eksekutor yang bergerak.
Teknik serupa dilakukan terhadap Munte. Bahkan, barikade dilakukan hingga puluhan meter. Sekujur tubuh Munte dihujani tusukan, terutama di sekitar perut dan daerah jantung.

Sedangkan Deni Setiawan yang menjadi korve (pembantu) di kamar Munte, turut menjadi korban, sehingga dirawat di rumah sakit. Dari sinilah yang memicu terjadinya ‘balas dendam’ geng atau kelompoknya Munte.

Terkait peristiwa itu, menurut sejumlah napi, ada tiga versi yang cukup mengemuka. Pertama, isu suku Batak (lazim disebut Korea) dibantu Palembang, dan Ambon melawan kelompok Arek (Jatim dan Jateng). Kebetulan, selain sebagai ‘lurah’, Munte adalah orang yang dituakan di geng Arek.Versi kedua, Munte melindungi orang yang dicari kelompok Korea. Dan versi ketiga, terjadi perebutan lahan.

Dari ketiga versi itu, yang paling mungkin adalah versi terakhir. Di Cipinang, napi yang berasal dari Jateng dan Jatim sekitar 2.000 orang, Palembang di atas 600 orang, dan Batak sedikitnya 500 orang.

Dengan kondisi ini, napi cenderung mengelompok berdasarkan suku. Sedikit gesekan saja, bisa menyedot ratusan ‘penonton’. Emosi napi mudah meletup. Rebutan uang Rp 1.000 saja, bisa memicu perkelahian yang melibatkan puluhan napi.

Menurut Sekretaris Jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Iqrak Sulhin, gesekan antarnapi di penjara di Indonesia sangat mudah terjadi karena sudah terlalu padat. Ini sejalan dengan kondisi Lapas Cipinang yang berkapasitas 900 orang tapi dihuni 4.000 napi.

Ketika dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1918, kapasitas Cipinang memang 1.500 orang, dengan areal seluas 12 hektare. Namun, areal itu kini sudah jauh berkurang, antara lain digunakan untuk Lapas Narkoba, Kantor Imigrasi, perumahan karyawan, rumah sakit, sehingga sisanya tak lebih dari lima hektare. Kelak, dibangun juga rumah tahanan.

Jadi kapasitasnya kian menyusut.Dalam kasus ini, pasti tidak mudah mencari perencana dan eksekutor, karena mereka mempunyai esprit de corps (semangat satu korps) yang sangat tinggi. Masalah lain, hampir semua napi menganggap penegak hukum sebagai musuh bersama. SP/dws


http://www.indomedia.com/bpost/082007/2/depan/utama3.htm



0 komentar:

Posting Komentar