(Tulisan ini dimuat di Opini SUARA PEMBARUAN, 2 Agustus 2007)
Sepertinya kenyataan memaksa kita tidak habis-habisnya membicarakan masalah lapas (lembaga pemasyarakatan) di Indonesia. Belum selesai diskusi tentang ratusan narapidana yang meninggal di dalam lapas, sekarang kembali muncul kerusuhan. Untuk kesekian kalinya terjadi di dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. Peristiwa kerusuhan terakhir di lapas Cipinang yang terjadi selasa 31 Juli 2007 bahkan
mengakibatkan dua narapidana tewas.
Sudah terlalu banyak diskusi, seminar, dan opini yang membahas persoalan lapas ini. Namun sepertinya berlalu begitu saja tanpa ada upaya signifikan untuk merubah kondisi yang sudah terlalu parah tersebut. Bahkan tidak pula dilakukan oleh otoritas yang paling bertanggung jawab dalam manajemen penjara di Indonesia (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Dengan alasan yang inkonsisten dari dahulu, seperti keterbatasan dana dan sumber daya manusia.
Masalah yang telah terlalu kronis ini tidak dapat dibiarkan begitu saja dengan menerima alasan keterbatasan dana dan SDM. Tanpa upaya menanggulangi sesegera mungkin, otoritas sistem pemasyarakatan di Indonesia justru melanggar komitmen dasar sistem pemasyarakatan itu sendiri. Kalau tidak boleh dikatakan telah melakukan kejahatan itu sendiri. Sering diulang, bahwa salah satu prinsip pemasyarakatan adalah tidak boleh membuat kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari sebelumnya.
Di tengah kondisi ini diperlukan suatu upaya reformasi mendasar dan menyeluruh. Tidak hanya dalam sistem pemasyarakatan, namun dalam sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Kronisnya masalah penjara di Indonesia terkait pula dengan elemen-elemen peradilan pidana lainnya. Dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Untuk sistem pemasyarakatan, reformasi mendasar minimal dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
Pertama, reformasi dalam proses kebijakan pemasyarakatan. Hal ini terkait dengan komitmen penuh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) untuk mengambil kebijakan yang langsung tertuju pada penanggulangan begitu banyak masalah di dalam lapas. Beberapa yang mendesak adalah masalah kapasitas lapas, pemenuhan hak-hak narapidana, dan perbaikan kualitas manajemen lapas dan SDM-nya. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan lapas konsisten memperlihatkan ketiganya sebagai masalah yang perlu segera diatasi. Dirjen Pas juga harus mulai beradaptasi dengan proses governance dalam kebijakan pemasyarakatan. Melalui pelibatan stakeholder-stakeholder lainnya di luar Dirjen Pas dalam pengambilan kebijakan. Seperti melibatkan lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan kalangan swasta.
Terkait dengan sebelumnya, hal kedua yang perlu dilakukan adalah reformasi dalam sistem pembinaan narapidana. Minimal membuat metode pemanfaatan waktu luang agar lebih bermanfaat bagi narapidana maupun lembaga. Sebagian ahli berpandangan relatif sulit untuk menciptakan sistem pembinaan yang dapat merubah perilaku narapidana. Pembinaan moral dan agama yang selama ini diberikan dalam lapas bahkan seperti sesuatu yang dipaksanakan.
Di tengah kondisi ini, Dirjen Pas dan stakeholder lainnya perlu menciptakan kegiatan-kegiatan narapidana yang lebih produktif dan mengisi sebagian besar waktu mereka selama berada dalam lembaga. Hal ini diharapkan mampu menurunkan deprivasi (penderitaan) psikologis yang dialami narapidana dan memberikan insentif tersendiri bagi mereka. Selain itu, sistem pembinaan juga perlu memperhatikan mekanisme reward dan punishment. Posisi narapidana yang subordinat terhadap lembaga tidak serta merta membuat mereka tidak mungkin mendapatkan penghargaan dari lembaga. Di sinilah pentingnya arti remisi dan bentuk-bentuk penghargaan lainnya.
Hal ketiga adalah reformasi paradigmatik. Pemasyarakatan harus dikembalikan kepada konsepsi dasarnya sebagai upaya reintegratif atau mengintegrasikan kembali pelaku kejahatan dengan masyarakatnya setelah terjadinya konflik berupa kejahatan. Upaya reintegratif ini amat bertentangan dengan paradigma menahan narapidana selama mungkin di dalam lembaga. Reintegrasi hanya mungkin terjadi bila ada pengkondisian dengan kembali menciptakan interaksi antara narapidana dengan masyarakat. Oleh karenanya, asimilasi adalah inti dari proses pemasyarakatan.
Permasalahan lapas berupa meningkatnya jumlah narapidana yang meninggal (baik karena sakit maupun bunuh diri), tidak terjaminnya hak narapidana, hingga kerusuhan juga ikut disumbangkan oleh elemen peradilan pidana yang lain.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini.:
Pertama terkait dengan persoalan internal lapas yang telah disinggung sebelumnya yaitu reformasi terhadap paradigma memenjarakan sebanyak mungkin pelanggar hukum pidana.
Kedua perlunya dikembangkan sejumlah penghukuman alternatif terhadap pemenjaraan.
Kepolisian sebagai ujung tombak peradilan pidana seharusnya dapat menjadi penyaring utama pelaku kejahatan yang akan diteruskan ke tahap peradilan selanjutnya. Terhadap pelaku remaja atau anak-anak misalnya, polisi dapat melakukan diskresi dengan pertimbangan kemanusiaan. Setidaknya terhadap kejahatan-kejahatan yang tidak terlalu serius. Hal ini tidak tertutup kemungkinan dilakukan terhadap pelaku dewasa.
Dua dampak positif yang kemudian muncul dari penyaringan ini adalah berkurangnya beban kapasitas lapas dan dapat dicegahnya first offender (pelaku kejahatan untuk pertama kalinya) menjadi residivis (karir kriminal) setelah berinteraksi dengan narapidana lain di dalam lapas. Sinisme di masyarakat sering mengatakan bahwa lapas (penjara) tidak lebih seperti “sekolah tinggi ilmu kejahatanâ€.
Pihak kejaksaan dan pengadilan-pun dapat melakukan hal yang sama. Meskipun diketahui sulitnya kebijakan seperti ini diterapkan di Indonesia terkait dengan moralitas penegak hukum. Dalam kenyataannya para narapidana yang dijebloskan ke dalam lapas adalah juga mereka yang “terseleksiâ€. Bukan karena mereka adalah residivis yang melakukan kejahatan yang serius, namun justru sebaliknya.
Mereka adalah narapidana yang sosialnya karena ketidakmampuan mereka membela diri dihadapan proses peradilan. Untuk dapat lolos dari hukuman atau setidaknya dijatuhkan dalam kadar minimal diperlukan pembelaan yang tidak murah. Inilah mengapa mayoritas narapidana di Indonesia adalah mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah.
Hal terakhir yang perlu dilakukan adalah perlunya dikembangkan sejumlah penghukuman alternatif terhadap pemenjaraan. Hal terakhir ini dapat menjadi dasar kelembagaan bagi kebijakan-kebijakan sebelumnya. Salah satu kesulitan polisi, jaksa atau hakim untuk “melepas†first offender (pelaku kejahatan untuk pertama kali) dengan kejahatan yang tidak serius adalah tidak adanya dasar kelembagaan.
Oleh karenanya, dengan mengingat kronisnya masalah kapasitas penjara, tidak terjaminnya hak-hak narapidana, dan potensi munculnya kerusuhan, hukum di Indonesia perlu memikirkan model-model alternatif dari pemenjaraan.
Berkaca pada pengalaman beberapa negara maju, banyak model-model penghukuman alternatif yang dapat diadaptasi. Seperti kerja sosial atau probation (hukuman percobaan). Kerja sosial dan probation akan menghindarkan terpidana dengan lapas dan dari kemungkinan menjadi residivis (karir kriminal). Keduanya merupakan bentuk dari community based corrections (penghukuman berbasis masyarakat).
Tanpa reformasi mendasar dan menyeluruh ini, kerusuhan yang terjadi di Cipinang tidak akan menjadi yang terakhir dan catatan tentang kematian narapidana, pelanggaran hak asasi narapidana tidak akan pernah berakhir.
http://www.suarapembaruan.com/
0 komentar:
Posting Komentar