Rabu, 01 Agustus 2007

Rebutan “Lahan” di Balik Kerusuhan Cipinang

SUARA PEMBARUAN, 1 Agustus 2007

Penjara laksana sebuah negara bagi para narapidana (napi) yang menghuninya. Jabatan presiden di dalam negara, setara dengan jabatan “lurah” di penjara. Juga ada faksi-faksi yang sebangun dengan partai politik (parpol). Pun ada yang mirip jabatan menteri. Kekuatan-kekuatan informal tersebut, di samping struktur formal, pengaruhnya sangat terasa dalam kebijakan organisasi penjara.

Kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klasifikasi (Klas) I Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (31/7), menjadi menarik, karena Sukamat (yang lebih dikenal sebagai Cak Munte) adalah “lurah” di Cipinang. Lahir di Surabaya 15 Desember 1965, Munte adalah sosok yang dihormati, menjadi “lurah” bagi ke-28 vorman (pemuka blok) di Cipinang.

Munte dihukum 12 tahun, setelah pada Januari 2003 terlibat dalam pembunuhan dan perampokan istri mantan Sekjen Depkeu Agus Haryanto. Ia mulai menghuni LP Cipinang 25 April 2003.

Dengan Cak Munte sebagai korban, banyak hal tersembunyi di balik kejadian itu. Apakah ada perebutan jabatan “lurah”? Apakah ada “kudeta” agar jabatan itu menjadi kosong dan diisi figur baru? Apakah ada vorman yang terlibat? Apakah ada faksi tertentu yang merasa perlu menghabisi lawan atau saingan? Di balik semua versi yang muncul toh adalah kepentingan ekonomi.

Korban tewas lainnya adalah Syamsul Hidayat (lebih dikenal sebagai Slamet), kelahiran Purworejo. Dia masuk LP pada 9 November 2006 (dipindahkan dari Rutan Salemba karena di sana menjadi perusuh), setelah dihukum empat tahun dengan tuduhan perampokan.

Menurut penuturan seorang penghuni LP Cipinang kepada SP, peristiwa yang merenggut nyawa Cak Munte dan Slamet, tergolong canggih, mirip tontonan di film. Mungkin ini hanya bisa terjadi di penjara, karena teknik yang digunakan membutuhkan banyak orang sebagai barikade, sehingga sulit mengetahui siapa yang menjadi pelaku (eksekutor).
Pukul 09.30 WIB, ratusan napi bergerak menuju Blok IIF. Slamet yang berada di halaman kamarnya, langsung dikelilingi lebih dari 150 orang. Di tengah, ada eksekutor yang bergerak.

Setelah “membereskan” Slamet, massa langsung membuat barikade di depan Kamar 4 (IIF), kamar Cak Munte. Sama seperti teknik yang digunakan kepada Slamet, begitu mulut Kamar 4 hingga puluhan meter dibarikade oleh napi, eksekutor bergerak menghabisi Cak Munte. Sekujur tubuh Cak Muntu dihujani tusukan, terutama di sekitar perut dan daerah jantung. Cak Munte tewas di tempat. Sedangkan Slamet, masih sempat dicoba diselamatkan ke Klinik LP, tetapi akhirnya meninggal dunia.

Sedangkan Deni Setiawan yang menjadi korve (setara dengan pembantu) di kamar Cak Munte, juga turut menjadi korban, sehingga dirawat di rumah sakit. Hanya Deni yang bisa membantu mengungkap siapa pelaku pembunuhan.

Ada beberapa korban lain yang cukup parah, yang menjadi korban balas dendam. Isu yang beredar tak terkendali, sehingga mendorong faksi-faksi untuk membalas dendam.

Tiga Versi
Terkait peristiwa itu, menurut sejumlah napi, ada tiga versi yang cukup mengemuka. Pertama, isu suku Batak (lazim disebut Korea Utara), Palembang, dan Ambon, bersatu melawan kelompok Arek (Jawa Timur). Kebetulan, selain sebagai “lurah”, Cak Munte adalah orang yang dituakan di kalangan Arek.

Versi kedua, ada perseteruan dengan napi “aktivis” Jakarta Timur (Jaktim). Jaktim minta perlindungan kepada Cak Munte. Karena diduga melindungi orang yang dicari, Cak Munte yang menjadi korban. Versi ketiga, terjadi perebutan “lahan” yang tentu saja berkaitan langsung dengan rezeki di dalam LP.
Dari ketiga versi itu, yang paling mungkin adalah versi terakhir, yaitu soal perebutan “lahan”. Jadi bukan bermotif suku dan sejenisnya.

Di Cipinang, napi yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar 2.000 orang, Palembang di atas 600 orang, dan Batak sedikitnya 500 orang. Dengan latar belakang demikian, napi cenderung mengelompok berdasarkan suku. Sedikit gesekan saja, bisa menyedot ratusan “penonton”. Emosi napi mudah meletup. Rebutan uang Rp 1.000 saja, bisa memicu perkelahian yang melibatkan puluhan napi.

Menurut Iqrak Sulhin, Sekretaris Jurusan Kriminologi Fisip Universitas Indonesia (UI), gesekan antarnapi di penjara di Indonesia sekarang ini sangat mudah terjadi karena sudah terlalu padat. Jadi tak perlu heran kalau hal yang sama terulang lagi dalam skala yang lebih besar.

“Sehari-hari napi sudah merasa ditindas oleh petugas. Perkelahian dengan sesama napi menjadi penyaluran emosi,” ujarnya. “Tak ada kata lain, paradigama memelihara napi selama mungkin di penjara, harus segera diakhiri,” tandasnya.

Pernyataan Iqrak sejalan dengan kondisi LP. LP Klas I Cipinang yang berkapasitas 900 orang, nyatanya sudah dihuni 4.000 napi. Luar biasa!

Ketika dibangun Hindia Belanda tahun 1918, kapasitas Cipinang memang 1.500 orang, dengan areal seluas 12 hektare. Tetapi areal itu kini sudah jauh berkurang, antara lain digunakan untuk LP Narkoba, Kantor Imigrasi, perumahan karyawan, rumah sakit, sehingga sisanya tak lebih dari 5 hektare. Kelak, LP Cipinang yang sekarang pun akan dibagi dua, menjadi Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan LP. Jadi kapasitasnya akan menyusut lagi.

Dalam kasus ini, pasti tidak mudah mencari siapa yang menjadi perencana dan eksekutor, karena para pelaku dengan saksi-saksi mata mempunyai esprit de corps (semangat satu korps) yang sangat tinggi. Masalah lain, hampir semua napi menganggap penegak hukum sebagai musuh bersama. Hal itu membuat penegak hukum yang masuk penjara selalu menjadi sansak hidup.

Untuk mengungkap peristiwa itu dengan jujur, tentu dibutuhkan keberanian penegak hukum, terutama pihak LP Klas I Cipinang. Sebab pertarungan kepentingan di kalangan napi, sebetulnya hanya “perpanjangan” kepentingan kalangan petugas juga. Kadar pengungkapan kasus ini berbanding lurus dengan kadar kesediaan penegak hukum untuk mengutamakan tugas ketimbang yang lainnya. [A-17]

http://www.suarapembaruan.com/


0 komentar:

Posting Komentar